Decitan sepatu pemain terdengar dari tribun ke tribun. Hawa panas pun tak mau kalah dengan semangat Fratzholic dan Castlemania. Permainan menegangkan nampak didepan mata. Masing-masing tim berusaha untuk mendapatkan bola dan mencetak poin. SMA Frateran berkali-kali melancarkan tembakan three-point-nya dengan mulus melalui invisible hands Olivia Listiarini, seorang gadis kelahiran 8 Oktober 1993. Dialah shooting guard andalan Frateran.
Seketika point pada score-board di pojok ruangan berubah. Pertandingan pun berakhir dengan kemenangan Frateran atas SMAN 1 Puri, 51-12. Dua puluh tiga point disumbangkan Oliv (sapaan Olivia Listiarini) selama pertandingan berlangsung. Gadis yang memiliki tinggi badan 163 cm ini, mengaku shooting three-point-nya adalah sebuah kebetulan dan Ia yakin semua pemain basket yang memiliki posisi sama dengannya, mampu melakukan hal serupa.
Kenapa three-point? Karena Oliv memiliki masalah dengan lutut sebelah kanan dan mengharuskan lututnya dibalut dengan perban.
“Aku tadi banyak lari kecil. Gimana enggak, pas mau lari, eh lututnya enggak mau di ajak kompromi,” tambah Oliv disusul tawanya.
Gadis asli Surabaya yang juga alumni SMP St. Agnes ini, bersama teman-temannya pernah membawa tim basket SMP-nya menjadi runner up DBL sebanyak dua kali, dan hanya sekali mengalami kegagalan pada babak big eight beberapa tahun yang lalu.
Dalam kesehariannya, Oliv tinggal di Jalan Mulyo Sari bersama kedua orang tuanya, Gatot Gani dan Tania Margo. Anak kedua dari dua bersaudara ini memiliki prinsip dalam mengenakan sepatu basketnya. Satu sepatu untuk satu periode DBL. Sepatu dekil yang ia kenakan di lapangan adalah sepatu yang ia gunakan semenjak latihan hingga DBL berakhir. Sepatu penuh jahitan dan sobekan di sisi depan seperti itu yang ia sebut jimat, karena sepatu macam itulah yang selalu melekat pada kakinya hingga malam puncak final East Java series, Jumat 6 Agustus 2010 lalu.
Walaupun DBL tahun ini terasa seperti sebuah beban, namun permainan cantik selalu diberikan Oliv di setiap pertandingannya, karena menikmati permainan adalah prinsip utamanya. Supporter yang selalu memadati tribun DBL arena pun tak pernah kecewa, karena mereka selalu disuguhi performance indah dari teman-teman kebanggaan mereka. Supporter banyak bagi Oliv pun tak menggangunya. Mereka adalah motivator.
“Kami bermain untuk Tuhan, sekolah dan mereka (supporter),” tambah Oliv.
Gadis yang gemar nasi goreng ini, mengakui bahwa pertandingan DBL 2010 menjadi tahun terakhir dirinya berlaga di lapangan dengan membawa nama Frateran. Meskipun tahun ini adalah tahun terakhir, banyak pengalaman berharga yang ia dapatkan ketika dirinya terpilih menjadi nominasi DBL All Stars dan mengikuti Camp. Meskipun pada akhirnya Oliv tidak terpilih menjadi wakil Indonesia di DBL All Stars, ia tetap mendapatkan pengalaman dan banyak teman dari berbagai provinsi. Sebagai siswi kelas XII, Oliv sedikit demi sedikit mengurangi schedule basketnya dan memfokuskan segala pikiran menuju Ujian Nasional. Ia paham, basket tidak menjanjikan prestasinya, tapi dirinya-lah yang menjanjikan masa depan-nya.
No comments:
Post a Comment